Makalah Kerajaan Palembang
Mei 13, 2016
A. Awal Masuknya Islam
Di Palembang
Berdasarkan sumber-sumber Arab dan Cina, pada abad ke-9 di Palembang, yang
diyakini sebagai ibukota Kerajaan Buddha Sriwijaya, telah terdapat sejumlah
pemeluk Islam di kalangan penduduk pribumi Palembang. Hal ini merupakan
konsekwensi dari interaksi antara penduduk Sriwijaya dengan kaum Muslimin Timur
Tengah yang sudah berlangsung sejak masa awal kelahiran Islam. Meskipun
Sriwijaya merupakan pusat keilmuan Buddha terkemuka di Nusantara, ia merupakan
kerajaan yang kosmopolitan. Penduduk Muslim tetap dihargai hak-haknya sebagai
warga kerajaan sehingga sebagian dari mereka tidak hanya berperan dalam bidang
perdagangan tetapi juga dalam hubungan diplomatik dan politik kerajaan.
Sejumlah warga Muslim telah dikirim oleh Pemerintah Sriwijaya sebagai duta kerajaan,
baik ke Negeri Cina maupun ke Arabia.
Pada
awal masuknya Islam di Nusantara, Palembang merupakan salah satu tempat yang
pertama kali mendapat pengaruh Islam. Tome Pires, seorang ahli obat-obatan dari
Lisabon (yang lama menetap di Malaka, yaitu pada tahun 1512 hingga 1515), pada
tahun 1511, mengunjungi Jawa dan giat mengumpulkan informasi mengenai seluruh
daerah Malaya-Indonesia.dia mengatakan bahwa pada waktu itu sebagian besar
raja-raja Sumatera beragama Islam, tetapi masih ada negeri-negeri yang masih
belum menganut Islam.
Hurgronje
(1973), berpendapat bahwa agama Islam secara perlahan-lahan masuk ke
daerah-daerah pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau
kecil lainnya di seluruh Kepulauan Nusantara sejak kira-kira setengah abad
sebelum Baghdad (pusat Khilafah Abbassiyah) jatuh ke tangan Hulagu (raja
Mongol) pada tahun 1258. Hurgronje mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia
dari Hindustan yang dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat. Usaha penyebaran
Islam ke pedalaman seterusnya dilakukan juga oleh orang Muslim pribumi sendiri,
dengan daya tariknya pula, tanpa campur tangan penguasa negara.
B. Proses
Islamisasi di Palembang
Walaupun
pada masa Kerajaan Sriwijaya, sudah ada penduduk Muslim, agama Islam
belum menjadi agama negara. Setelah melalui proses yang panjang yang
berhubungan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti Kerajaan
Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Raden Patah alias Raden Panembahan
Palembang yang lahir di Palembang,
sebagai
Pendiri dan Raja Demak yang pertama (1478-1518), sangat besar pengaruhnya
terhadap Palembang atau sebaliknya.
Raden
Patah berhasil memperbesar kekuasaan dan menjadikan Demak sebagai kerajaan
Islam pertama di Jawa. Akibat pertentangan politik, Kerajaan Demak tidak dapat
bertahan lama. Perebutan kkuasaan antara Aria Penangsang dari Jipang dan
Pangeran Adiwijaya dari Pajang disebabkan masalah suksesi dan warisan Kerajaan
Demak, mengakibatkan Demak tidak dapat bertahan lama. Kemunduran Demak
mendorong tumbuhnya Kesultanan Pajang. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak
mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang.
C. Berdirinya
Kesultanan Palembang
Tokoh
pendiri Kerajaan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro. Keraton pertamanya di Kuto
Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di komplek PT. Pusri. Dimana makam
Ki Gede Ing Suro berada di belakang Pusri. Dari bentuk keraton Jawa di tepi
Sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di
sekitarnya.
Dengan
diproklamirkannya Kesultanan Palembang Palembang Darussalam ini maka Agma Islam
resmi sebagai Agama Kerajaan (negara) sampai masa berakhirnya. Dengan
Proklamasi Kesultanan Palembang ini, keterkaitan dengan Mataram, baik kultural
maupun politik terputus, dan Palembang mengembangkan pemerintahan dan kehidupan
masyarakat dengan tradisi dan kepribadian sendiri. Kultural jawa yang selama
ini tertanam sebagai dasar legitimasi keraton Palembang yang menumbuhkan
keterkaitan sembah atau upeti dengan Pajang dan Mataram
sudah tidak terjadi lagi. Kultural masyarakat Palembang lebih banyak didasari
kultural Melayu.
Ki
Mas Hindi adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palembang,
memutus hubungan ideologi dan kultural dengan pusat kerajaan di Jawa (Mataram).
Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan Sultan Agung di Mataram.
Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahman, yang kemudian dikenal sebagai Sunan
Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC pada tahun
1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurangan ajaran hasil wakil wakil VOC
di Palembang, Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut
(sekarang sebagai pusat perdagangan). Sultan Mahmud Badaruddin I yang bergelar
Jayo Wikramo (1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan
Palembang, dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara
lain
Mesjid Agung Palembang, Makam Lemabang (Kawah tengkurep), Keraton Kuto Batu
(sekarang berdiri Musium Badaruddin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota
Palembang).
Daftar Sultan Palembang :
Sri
Susuhunan Abdurrahman (1659-1706)
Sultan
Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1718)
Sultan
Agung Komaruddin Sri Teruno (1718-1724)
Sultan
Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1724-1757)
Sultan
Ahmad Najamuddin I Adi Kusumo (1757-1776)
Sultan
Muhammad Bahauddin (1776-1803)
Sultan
Mahmud Badaruddin II (1804-1812, 1813, 1818-1821)
Sultan
Ahmad Najamuddin II (1812-1813, 1813-1818)
Sultan
Ahmad Najamuddin III (1821-1823)
D. Pemerintah,
Ekonomi dan Politik
1. Pemerintahan
Wilayah
kesultanan Palembang Darussalam kira-kira meliputi wilayah keresidenan
Palembang dulu pada waktu pemerintahan Belanda ditambah dengan Rejang-Amput
Petulai (lebong) dan Belalu, disebelah selatan dari danau Ranau. Pusat
pemerintahan kesultanan berada di kota Palembang dimana pemerintahan
dikendalikan oleh putra mahkota, yang juga penasehat sultan langsung, wakil dan
pengganti.
2. Ekonomi
Perekonomian
kesultanan Palembang, sesuai dengan letaknya, sangat dipengaruhi oleh
perdagangan luar dan dalam negeri. Perdagangan diadakan dengan pulau Jawa,
Riau, Malaka, negri Siam dan negri Cina. Disamping itu, datang pula dari
pulau-pulau lainnya perahu-perahu yang membawa dan mengambil barang dagangan.
Komoditi yang terpenting adalah hasil pertambangan timah.
3. Politik
Politik
yang dijalankan di kesultanan selama berdirinya +/- 50 tahun, membuktikan telah
berhasilnya menciptakan pemerintahan vang stabil, dimana ketentraman dan
keamanan penduduk dan perdagangan terpelihara dengan baik. Demikian juga
hubungan dengan negara-
negara
tetangga umumnya terjalin dengan baik, hanya ada satu kali perang saja sewaktu
pra-kesultanan pada tahun 1596 dengan Banten vang berlatar belakang pertikaian
ekonomi untuk memperebutkan pangkalan perdagangan di selat Malaka.
Prestasi
politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan Abdurrahman vang paling
menentukan bagi perkembangan kesultanan Palembang Darussalam, adalah
kebijaksanaannya untuk meiepaskan diri dari ikatan perlindungan (protektorat)
Mataram kira-kira pada tahun 1675 tanpa menimbulkan penindasan dan peperangan.
Hubungannya dengan Mataram tetap terpelihara dengan baik. Yang mendapat
tantangan berat adalah politik dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme
Eropa (Belanda dan Inggris) dengan kelebihan teknologi alat perangnya dan
kelicikan politiknya, sehingga banvak mendatangkan kerugian kepada pihak
kesultanan, dan akhirnya mengakibatkan hilangnya eksistensi kesultanan itu
sendiri. Politik imperialis dan kolonialis ini yang dikenal dengan
"Belanda minta tanah" dengan taktik tipu muslihatnva devide et
impera.
E.
Peperangan dan Mundurnya Kesultanan Palembang
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara
Belanda yang berada di Palembang, namun ia menolak bekerja sama dengan Inggris,
sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang
Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana
kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan
Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II
kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali
oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga
menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya
dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan
mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit
melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud
Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan dari pasukan
Hindia yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata
Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara,
Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud
Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate. Kemudian pada tahun 1821
tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja
berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang
berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di
kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat
dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin
III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.
F.
Peninggalan Kerajaan Palembang
1. Keraton
Kuto Tengkuruk
Benteng Kuto Besak (BKB) dibangun untuk menggantikan keraton lama,
Benteng Kuto Lamo, yang disebut juga Keraton Kuto Tengkuruk atau Keraton Kuto
Lamo, yang berlokasi persis di samping kiri. Keraton Kuto Tengkuruk lalu
menjadi rumah tinggal residen Belanda. Saat ini, Keraton Kuto Tengkuruk
difungsikan menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
2. Keraton
Beringin Janggut
Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan
Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di
sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran).
Keraton beringin janggut adalah salah satu Istana Kesultanan Palembang
Darussalam dan merupakan tempat tinggal Sultan-Sultan Palembang Darussalam (di
zaman Sri Paduka Susuhunan Abdurrahman) setelah Keraton Kuto Gawang dibakar
pasukan VOC dan sebelum dibuat Keraton Kuto Kecik / Lamo.
3. Keraton
Kuto Gawang
Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang
bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari
Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana
Takhta
Kerajaan Palembang
Masjid
Agung Kesultanan Palembang
Benteng
Kuto Besak
Sumber
0 komentar